Shalom!

Selamat datang para pembaca diblog resmi GMIST Jemat Depok

Postingan Terbaru

6/recent/ticker-posts

Shock Teraphy : Teguran Kasih Yang Nyata

I Korintus 4:9 Sebab, menurut pendapatku, Allah memberikan kepada kami, para rasul, tempat yang paling rendah, sama seperti orang-orang yangtelah dijatuhi hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. 4:10 Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. Kamu mulia, tetapi kami hina. 4:11 Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, 4:12 kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; 4:13 kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini. 

Jika seseorang kepada siapa perkataan diatas ditujukan  mengerti ucapan rasul Paulus ini, maka ia akan terhenyak dan malu. Ini adalah perkataan konfrontasi langsung tentang identitas hidup keimanan pribadi / persekutuan versus pribadi / persekutuan lain. Paulus/para Rasul vs orang tertentu / jemaat Korintus.

Sebuah cermin yang diperhadapkan pada wajah seseorang yang mengira mukanya besih padahal cermin itu sendiri menunjukkan betapa muka itu kotor. Mengenai perlunya Paulus menaruh cermin demikian patut diduga karena tindak-tanduk pribadi yang demikian sudah tak dapat ditolerir, karena akibat buruk yang mereka timbulkan. 

Perbedaan karakteristik yang sangat kontras ini tetap harus menjadi teguran bagi kita juga, karena sifat jemaat Korintus itu memang ada dan menjadi bagian dari karakteristik kita. Kita sering menganggap diri orang mulia di dalam gereja kita dimana peran kita sangat penting dan besar, kita sering melihat gereja itu sebuah tempat yang manis dan menyenangkan bagi kerohanian kita sehingga kita sangat menikmati semua itu. Gereja dijadikan semacam pakaian yang indah yang mempercantik penampilan kehidupan sosial kita.

Ada orang yang mengejar jabatan di gereja bukan dengan maksud melayani Tuhan dan jemaatNya, melainkan agar status sosialnya dipandang sebagai orang terhormat,orang baik, orang berpengaruh. Jabatan gereja membuat ia didengar, ia diperhatikan, dan ia dipuji. Dan dalam sikap yang demikian, ia tidak sadar sedang melayani dirinya sendiri, tidak melayani pekerjaan Tuhan.

Jadi ada sebuah prasyarat yang perlu bagi pelayanan Tuhan yang telah disingkirkan oleh sikap narsistik seperti itu. Sebuah syarat penting ketika seorang harus menjalani pekerjaan pelayanan, kesaksian dan persekutuan benar-benar hilang manakala motivasi telah berubah menjadi kemuliaan bagi diri sendiri.

Teguran sangat penting agar orang Kristen mengingat hakekat sejati jatidiri dari pelayan-pelayan Kristus (nabi/rasul/jemaat). Jangan kacang lupa kulitnya. Bahwa identitas sejati dari seorang pelayan [catatan: disini bukan berarti hanya mereka yang disebut "pelayan khusus = Majelis, Pendeta, Evangelis" tetapi semua anggota gereja] adalah melayani pekerjaan Tuhan samnpai pada konsekuensi pekerjaan yang terberat. Ketika konsekuensi itu sengaja diabaikan, artinya dibatasi pada wilayah yang disukai saja, di wilayah kesenangan diri, maka sejatinya yang demikian itu telah membatasi pekerjaan Tuhan. Ini yang harus dikoreksi.

Mentalitas seperti yang terdapat pada para rasul, apakah ada dalam kita? Apakah kita bersedia mengakui bahwa dalam pelayanan pekerjaan Tuhan kita rela menjadi hina dan rendah? Bahkan disebut sebagai sampah?

Hina dan sampah? Ini perkataan paling keras. Hina menurut siapa dan sampah siapa? Rasul Paulus di lain kesempatan mengatakan bahwa Injil telah menjadi kebodohan bagi dunia, dan Tuhan memakai hal-hal yang dianggap bodoh oleh dunia untuk menyelamatkan mereka yang percaya.

Dunia ini memandang hina dan menganggap bodoh orang yang melayani Tuhan. Orang Kristen yang percaya kepada Tuhan yang tak dapat dibuktikan dengan nalar, sebagai sebuah kebodohan. Dunia melihat orang-orang yang bekerja dengan tekun untuk Berita Injil yang menerima konsekuensi terberat (hidup mereka menjadi susah) sebagai sebuah hidup dalam kebodohan. Mengapa tidak berdagang dan mendapat untung banyak, mengapa tidak berkarir saja agar dapat penghasilan besar. Eh, anda malah melayani gereja, apa untungnya? Begitu kira-kira pemikiran orang dunia.

Dianggap sampah? Sampah adalah barang yang tak berguna dan harus segera dibuang, disingkirkan dari pandangan mata. Apakah ada orang yang ingin membuang orang Kristen? Oh banyak. Ada sebuah kota di Indonesia Timur yang pernah suatu waktu di masa lalu mengusir semua orang Kristen secara paksa dengan kekerasan agar mereka keluar dari kotanya.  Lalu ada orang yang benar-benar ingin menghalau orang Kristen bersekutu dan beribadah di komplek perumahannya. Mereka benar-benar ingin melenyapkan orang Kristen, sama seperti ibu rumah tangga ingin membuang kantung plastik bekas. Bahkan ada kantor-kantor tertentu, di mana ada orang Kristen yang ingin disingkirkan dengan berbagai cara tertentu.
  
Konsekuensi yang terberat demikian, diingatkan untuk tetap ditanggung oleh orang yang melayani Tuhan. Jadi baik dalam gereja maupun di tengah masyarakat luas, orang Kristen diingatkan untuk setia menjadi pelayan Tuhan menerima konsekuensinya yang paling sulit. Mentalitas inilah yang dituntut rasul dari orang Korintus, sekaligus menjadi teguran keras bagi mereka yang tidak berkenan menerima konsekuensi demikian.

Jadi, apakah kemudian kondisi sulit ini menjadi sebuah prasyarat pemberitaan Injil? Tidak juga, malah sebaliknya. Kondisi ini adalah akibat, bukan sebab. Berita Kristen itu disebarkan dalam damai sejahtera, dalam kasih dan persaudaraan. Hanya jika respon dari orang-orang atau situasi menjadi buruk, itu adalah akibat dari berita Injil pada mereka yang menolak. Dan akibat ini yang harus bersedia diterima. Artinya Paulus sedang mengatakan bahwa apapun hasil yang mungkin terjadi akibat pemberitaan Injil yang damai itu, marilah kita siap menerimanya.  
  
Inilah mentalitas yang harus dibangun dalam melayani Tuhan. Jangan gambaran respon buruk menjadikan kita tidak berani atau enggan memberitakan Frman Tuhan kepada orang lain. Bayangan akan penolakan orang menjadikan kita tidak memberitakan Kabar Baik dengan sungguh-sungguh. 

Apapun itu, tetaplah memberitakan Firman Tuhan dengan damai sejahtera, dengan ramah dan lemah lembut.

JFT 23/2/2015

Post a Comment

0 Comments